Nasionalisme Indonesia Adalah Pancasila Bukan Sekularisme

  • Bagikan
Ikuti Saluran WhatsApp

Ikuti Saluran WhatsApp Rajawali Times Tv

Rajawalitimes-Tv.com Makassar, 20 Mei 2024 Hari ini Senin 20 Mei 2024, kantor-kantor pemerintahan melaksanakan Upacara Bendera dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-116, sebuah momentum sejarah yang selalu mengingatkan kita pada semangat persatuan dan kesatuan tentang kebangkitan bangsa Indonesia yang diawali pada tahun 1908. Dimana para pendahulu kita memulai perjuangan panjang dalam membangun kesadaran kebangsaan (nasionalisme), yang akhirnya memuncak pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Masihkah relevan sejarah kebangkitan nasional diperingati, ditengah-tengah arus politik transaksional begitu kental dan kuat pengaruhnya dalam birokrasi pemerintahan?.

Di era Indonesia modern sekarang ini yang ditandai dengan derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang dirayakan secara gegap gempita, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal kesadaran berbangsa dan bernegara.

Derasnya gempuran kebudayaan asing (akulturasi budaya) yang terfasilitasi dengan media dan teknologi internet dapat secara bebas leluasa hadir di tengah-tengah masyarakat kita dan berpotensi mendominasi serta mempengaruhi kebudayaan lokal.

Menurunnya nilai-nilai nasionalisme di kalangan masyarakat khususnya para pejabat publik sebetulnya bukan perkara baru, melainkan permasalahan klasik yang terus dialami bangsa ini sejak Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial hingga saat ini. Hal ini membuktikan betapa kuatnya pengaruh politik transaksional, yang dilancarkan oleh kaum pemilik modal (kapitalis).

*Sejarah Nasionalisme bangsa Indonesia*

Dalam upaya mendirikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Soekarno mengadopsi gagasan Ernest Renan tentang nasionalisme yang merujuk pada kesepakatan politik untuk mencapai cita-cita masa depan bersama sebagai bangsa yang senasib sepenanggungan dan kesediaan berkorban untuk menjaga semangat kebangsaan.

Nasionalisme dalam pandangannya bukanlah nasionalisme sempit, melainkan lebih mencerminkan humanisme dan internasionalisme yang terlahir dari tiga kondisi yaitu adanya eksploitasi ekonomi, kekecewaan politik akibat dominasi kekuasaan asing, dan hilangnya hak mengembangkan kebudayaan lokal di bawah cengkeraman sistem pendidikan kolonial.

Di era kolonial, nasionalisme dibangun atas kesadaran bersama yang dipupuk atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan untuk terbebas dari belenggu penjajahan kolonial.

Dalam pemerintahan Orde Lama, nasionalisme dibangun untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan kebudayaan lokal dan nasional serta sekeras mungkin menutup keran terhadap pengaruh kebudayaan asing.

Sementara di era Orde Baru nasionalisme dipupuk dan dibentuk dalam doktrin-doktrin yang bersifat top-down serta terkesan digunakakan sebagai legitimasi kekuasaan yang bersifat militeristik.

Sedangkan diera sekarang pasca Reformasi khususnya 10 tahun terakhir (2014-2024), nasionalisme mendapat tantangan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan terpinggirkannya nilai-nilai moral Pancasila dan prasa agama di level politik praktis dan pendidikan formal (Kurikulum Sisdiknas) yang sebagaian besar terfokus hanya pada perkembangan teknologi informasi dan pembangunan ekonomi.

Memudarnya nasionalisme di era ini juga dapat disoroti dari maraknya konflik sosial berbasis ras, bermunculannya ormas-ormas yang menegaskan identitas kultural, serta banyaknya ideologi alternatif yang kerap bertentangan dengan ideologi Pancasila yang berbau sekularisme.

Belum lagi maraknya politik adu domba, penggiringan opini publik, serta berbagai narasi primordialisme dan sentimen berbasis isu SARA yang berkembang di masyarakat pada saat pilpres dua periode terakhir seolah membuat sekat-sekat kultural menjadi lebih kuat dan tidak terhindarkan.

Berangkat dari kenyataan ini, nasionalisme perlu disuarakan kembali untuk menjaga kedaulatan bangsa dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik karena jika tidak persatuan dan kesatuan akan terancam dan akan melahirkan disintegrasi bangsa. Sangat disayangkan jika generasi mendatang, akan bersikap apatis terhadap negerinya sendiri karena tergerusnya rasa nasionalisme dikalangan generasi muda.

Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat dan efisien dalam upaya menumbuhkembangkan kembali nasionalisme di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya di kalangan generasi muda.

Hal-hal yang bisa dilakukan adalah:

*Pertama* ; dengan menguatkan kembali nasionalisme di level pendidikan formal. Muatan pendidikan agama, nilai-nilai karakter (Pancasila) dan sejarah bangsa wajib dimunculkan dalam kurikulum Nasional, serta diamalkan di semua level pendidikan formal.

*Kedua* ; masih dalam level pendidikan formal, narasi-narasi sejarah tentang kepahlawanan yang wajib munculkan kembali, diketahui, dan dipahami oleh generasi muda. Misalnya, kisah tentang ikrar Sumpah Pemuda terkait kesadaran berbangsa dan bernegara yang digagas oleh kelompok muda dan menjadi cikal bakal proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, model pendidikan karakter yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara yang menitikberatkan pada pendidikan karakter pada bidang kesenian dan kebudayaan dalam upaya memperhalus budi pekerti dan kemanusiaan masih relevan untuk diterapkan.

*Ketiga* ; penguatan nasionalisme dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya populer, seperti kegiatan olah raga, musik, film, kompetisi pendidikan, dan masih banyak lagi.

Pada tahun 2045 mendatang, Indonesia genap berusia 100 tahun alias satu abad. Pada tahun tersebut, ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia. Bukan hanya target, tapi ada usaha yang terus diupayakan agar bisa sampai ke sana.

Presiden RI Joko Widodo, yang didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi “Indonesia Emas 2045” di Djakarta Theater, pada Kamis 15 Juni 2023 lalu.

Beberapa faktor bisa menjadi penghambat impian Indonesia emas tahun 2045, seperti: (1) akulturasi budaya dengan budaya asing yang negatif yang dapat berperan mengubah sikap perilaku (etika moral) generasi muda kita ke arah perilaku yang negatif; (2) gagalnya bangsa Indonesia mengelola sumber daya alam dan kekayaan sendiri, sehingga dengan mudah diambil dan dikuasai oleh pihak asing (kapitalis), (3) kedaulatan negara dipertaruhkan oleh kepentingan kelompok politik, melalui Politik transaksional.

Indonesia merupakan negara multietnis dan multikultural dengan semboyan, “Bhinneka Tunggal Ika.” Akan tetapi pada kenyataannya, semboyan tersebut tak mudah diwujudkan karena banyaknya perbedaan ideologi dan kepentingan masyarakat yang bertentangan.

 

Selain masyarakatnya beragam, Indonesia pun merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alamnya serta wilayah pulau yang banyak (negara kepulauan). Kondisi ini dapat menjadi faktor penunjang kemajuan Bangsa Indonesia, demikiannjuga juga sebaliknya dapat menjadi ancaman perebutan bagi kaum kalitalis.

Di satu sisi, keberagaman penduduk dan luasnya wilayah Indonesia memang membawa dampak positif. Dengan modal tersebut, bangsa Indonesia bisa memanfaatkan kekayaan alam dan budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, di sisi lain kondisi itu juga bisa memicu masalah, terutama rentannya disintegrasi bangsa terjadi. Sebab sebagai bangsa yang besar dan mempunyai kemajemukan, Indonesia tidak jarang menghadapi berbagai masalah yang berpotensi menjadi penyebab disintegrasi bangsa. Oleh sebab itu, berbagai faktor yang berpotensi menjadi penyebab disintegrasi bangsa perlu dicegah demi menjaga keutuhan NKRI.

Konflik-konflik antargolongan di Indonesia sering muncul dengan menonjolkan kekhasan daerah atau kelompok yang kemudian memiliki kecenderungan ke arah perpecahan. Hal ini dapat diakibatkan oleh ketidakpuasan atas kondisi politik, yang kemudian diikuti gesekan-gesekan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Demikian juga ancaman imigrasi, yang berkedok tenaga kerja. RRT mengalami masalah kepadatan penduduk yang sudah tidak bisa teratasi lagi, kecuali memindahkan sebagian penduduknya kewilayah pulau yang kurang penduduknya.

Sungguh halus strategi migrasi penduduk Cina dengan menggunakan visa kerja (tenaga kerja), mulai dari tenaga kerja pabrik, tambang, perkebunan, pertanian, kesehatan dan mungkin juga guru. Dan dengan sistem konsesi 80-120 tahun kerja di Indonesia, dapat diduga akhirnya mereka menetap menjadi penduduk yang bisa menyingkirkan penduduk asli nantinya.

Sikap nasionalisme, telah dicontohkan oleh Jenderal Soedirman pada pasukannya. Jenderal Soedirman merupakan salah satu pahlawan nasional yang memiliki nilai kepahlawanan (nasionalisme) berupa sikap jiwa dan semangat ikhlas dalam berkorban, pantang menyerah, teguh dalam pendirian, memilki keberanian yang kuat, membela kebenaran serta memilki moral dan perilaku yang mengandung suri tauladan.

Ketaatan Soedirman terhadap agama merupakan sifat yang sudah dimiliki nya sejak kecil, bahkan ketaatan nya tersebut sudah diketahui oleh seluruh penduduk dan anggota pasukannya bahwa ia merupakan orang yang sangat taat dan patuh terhadap agama Islam. Bahkan ketika beliau sedang sakit dan melakukan perjalanan yang panjang pada masa penjajah, Soedirman tetap melaksanakan kewajiban seorang muslim dalam beribadah. Karena ia menganggap, bahwa agama merupakan pondasi awal pertumbuhan para penganutnya agar dapat menuju kemantapan sifat, mental dan sikap.  Jenderal Soedirman memilki sifat amanah dan bertanggung jawab. Sifat tersebut dapat dilihat ketika Soedirman diamanahkan sebuah jabatan tertinggi di TNI sebagai Panglima Besar oleh presiden Soekarno. Jelas sifat itu terlihat pada Soedirman, ketika pada saat kondisi tubuh yang lemah pun, ia tetap ikut berperang agar dapat memberikan pengarahan dalam memberikan strategi dan memberikan semangat kepada pasukan yang berjuang untuk Indonesia. Ujar Achmad Ramli Karim Pemerhati Politik & Pendidikan

Piter S

PT. MEDIA INTI RAJAWALITIMES NUSANTARA
Author: PT. MEDIA INTI RAJAWALITIMES NUSANTARA

Suka Menulis, nonton sepakbola, main catur, baca filsapah,

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini