Rajawalitimes-Tv.com, Ujung Kulon, Banten 24 Mei 2024 Memimpikan “Indonesia Emas” pada Tahun 2045 itu artinya generasi yang lahir antara tahun 2.000 hingga hari ini 2024 adalah mereka yang akan menikmati kondisi dan situasi “emas” itu, atau justru yang menjadi generasi pemikul beban dari dari mimpi yang tidak terwujud, atau bahkan menjadi beban sejarah, ekonomi, politik termasuk budaya dan agama yang mungkin semakin kacau akibat benturan peradaban yang semakin keras.
“Tahun Emas Indonesia” pada 2045 itu jelas terbilang dari hitungan tahun 100 tahun Indonesia merdeka. Artinya, setelah melalui usia sebab kemerdekaan diproklamasikan, mimpi keemasan itu pun masih berada diujung mimpi yang belum jelas dan belum pasti. Karena kalkulasi dari jumlah stunting, program makan gratis hingga uang sekolah dan kuliah yang mahal, sangat mencemaskan mimpi itu sekedar mimpi, karena sulit untuk membayangkan kualitas sumber daya (kemampuan) manusia Indonesia sejak hari ini hingga 20 tahun ke depan bisa diperbaiki secara signifikan bagi generasi yang kelak akan menyambut bilangan tahun emas Indonesia pada tahun 2045. Sementara kondisi ekonomi hari ini semakin memburuk, bahkan menjadi ancaman yang sangat mencemaskan.
Kegagalan mengatasi masalah kemiskinan jelas ditandai keriuhan pemerintah untuk menyediakan makan siang gratis — jika tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kepanikan — karena jika benar angka kemiskinan di Indonesia telah menembus angka 83 juta orang, artinya situasi dan kondisinya yang nyata adalah sudah berada pada tingkat yang gawat. Sebab hampir sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia artinya dalam kondisi dan situasi menahan lapar agar tidak melakukan tindak kriminal hanya untuk memenuhi kebutuhan perut yang tak mungkin terus ditunda.
Lalu bagaimana dalam kondisi dan situasi kritis seperti itu masih harus memimpikan kecerdasan, kepandaian dan keahlian melalui lembaga pendidikan — setidaknya untuk mencapai pendidikan lanjutan tingkat atas — apalagi universitas ! Padahal untuk mempersiapkan sumber daya kemampuan, keterampilan hingga kecerdasan dan keahlian generasi yang bertumbuh, jelas tidak mudah dan tidak gampang, lantaran harus melalui proses yang panjang dan kerja ekstra keras untuk mulai mempersiapkannya.
Lebih dari itu, berbagai kendala dari upaya untuk mempersiapkan generasi penyambut era Indonesia emas itu, sudah dihambat oleh kualitas dan kuantitas gizi buruk yang telah menjadi hantu penghadang, lalu keseriusan untuk memprioritaskan kesempatan belajar — baik disekolah menengah kejuruan yang bermutu, apalagi untuk belajar sampai tingkat universitas — toh sudah terganjal pula oleh biaya yang tidak terjangkau oleh warga masyarakat kebanyakan di Indonesia.
Sementara di luar, ribuan atau bahkan telah jutaan jumlah tenaga kerja asing yang dibiarkan mengambil alih lapangan kerja yang harus diprioritaskan kepada pribumi atau anak bangsa Indonesia sendiri — sehingga pada saat usai mengikuti pendidikan formal atau pun pendidikan non formal — tetap tidak dapat diharap mengubah nasib warga bangsa Indonesia yang patut menikmati buah kemerdekaan yang — kalau pun kelak ada — sudah dapat dipetik pada tahun Indonesia Emas itu nanti.
Memimpikan masa keemasan Indonesia pada usia sebab setelah kemerdekaan, agaknya sekedar bilangan mistik yang tidak cukup rasional, mengapa harus selama itu dicapai. Mengapa pada pada usia seperempat abad atau setengah abad saja misalnya — sehingga tidak terkesan cuma sekedar spekulatif belaka, untuk tidak dikatakan iseng atau latah, sehingga masa happy segenap warga bangsa yang telah merdeka tidak dapat segera menikmati buah kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendahulu kita dengan segenap pengorbanan serta pertaruhan jiwa dan raga.
Sehingga praduga buruk atas janji Indonesia Emas yang baru akan dinikmati pada 20-an tahun itu, seperti ingin memberi permaafan terhadap kesalahan dan kekeliruan atau bahkan keculasan untuk menikmati sendiri kerakusan dari rezim penguasa yang silih berganti mengangkangi negeri ini. Setidaknya bagi setiap warga bangsa Indonesia yang tidak lagi bisa melampaui usia 20-an ke depan, pasti tidak akan menikmati masa keemasan yang dimimpikan hari ini pada tahun 2045. Atau bahkan, hanya sekedar untuk menyaksikan mimpi kegemilauan negeri yang kaya raya ini, justru mungkin terjerembab dan ambruk, akibat tata kelolanya yang sembrono dan ngawur, seperti pelaksanaan Pemilu yang menanda puncak dari kekecewaan serta ketidak-percayaan rakyat Indonesia yang telah menjadi catatan sejarah kelam sampai kapan pun. “Ungkap Jacob Ereste.