Asas Hikmat Kebijaksanaan Harusnya Acuan Kebijakan Publik Bukan Transaksi

  • Bagikan

http://Rajawali times tv.com Makassar, 10 Oktober 2024 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hikmat berarti kebijakan atau kearifan. Secara terminologis, hikmat merujuk pada landasan etis yang digunakan manusia dalam mengambil keputusan.

Sinonim dari kata hikmat adalah: Kebijaksanaan, Kecerdasan, Akal budi, Akal sehat, Kecerdikan. Kata hikmat berasal dari kata hokmah yang merupakan turunan kata kerja hakam yang berarti “menjadi bijaksana” atau bertindak “bijaksana”.

Hikmat juga dapat diartikan sebagai: (1) Kemampuan seseorang dalam menilai sesuatu, seperti orang, barang, kejadian, dan situasi. (2) Pemahaman akan apa yang benar dikaitkan dengan penilaian optimal terhadap suatu perbuatan.

Arti hikmat kebijaksanaan dalam Pancasila adalah penggunaan pikiran yang sehat untuk mempertimbangkan kepentingan rakyat, persatuan bangsa, dan dilaksanakan dengan ikhlas, jujur, serta penuh rasa tanggung jawab.

Adapun makna sila keempat Pancasila, yaitu: (a) Kerakyatan, berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat atau demokrasi. (b) Permusyawaratan, merupakan tata cara khas Indonesia untuk merumuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat. (c) Perwakilan, merupakan sistem yang mengusahakan agar rakyat dapat turut serta dalam kehidupan negara.

Lambang sila keempat Pancasila adalah kepala banteng. Kepala banteng melambangkan tenaga rakyat dan mewakili hewan sosial yang sering berkumpul. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang terkandung dalam sila keempat Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat.

Dr (Hc). Dr. H. Mohammad Hatta merupakan seorang tokoh yang memberikan kontribusi yang sangat penting pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Peran dan ideologi Mohammad Hatta sangat tampak terlihat dibandingkan para pemimpin Indonesia lainnya, baik dari bidang politik, ekonomi, dan sosial. Mohammad Hatta juga dikenal sebagai ‘founding father” negara Indonesia, serta dikenang sebagai sosok yang dekat di hati masyarakat karena semangat juang dan sifat kerakyatannya (Firmansyah, 2010: 15).

Salah satu konsep yang muncul dari gagasannya adalah paham “demokrasi kerakyatan”. Demokrasi kerakyatan merupakan suatu sistem yang diciptakan oleh Mohammad Hatta untuk mengantarkan masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang baru dan lebih baik. Dapat dipahami bahwa gagasan demokrasi Mohammad Hatta berbeda dengan demokrasi Barat. Mohammad Hatta membangun demokrasi di Indonesia dengan kesadaran yang matang. Ia juga menyadari bahwa demokrasi masyarakat di Indonesia memiliki perbedaan dengan demokrasi Barat sehingga tidak sesuai jika diterapkan pada masyarakat Indonesia (Zulfikri Suleman, 2010: 181).

Transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi memberi dampak perubahan signifikan dalam peta perpolitikan nasional. Sistem demokrasi yang dijalankan membawa banyak kebijakan baru sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi politikus, akibatnya siapa saja bisa masuk dalam dunia politik. Memang tidak ada yang salah akan hal tersebut, tetapi menjadi masalah manakala dominasi politik transaksional menjadi jurus ampuh untuk meraih kedudukan dan jabatan.

Membangun kesepakatan politik (transaksi politik) dalam suatu koalisi adalah bentuk pelanggaran konstitusi, dan menyalahi prinsip dasar demokrasi Pancasila dalam pengambilan keputusan. Yaitu menyalahi prisip musyawarah mufakat yang berasaskan “hikmat kebijaksanaan” dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik, sebagaimana tuntunan sila keempat Pancadila.

Amanat reformasi bahwa diperlukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berpihak pada kepentingan rakyat kecil masih sebatas mimpi. Disebabkan makin masifnya praktik politik transaksional dalam sistem politik di Indonesia dan telah menjadi trend di kalangan politikus dan pemangku kebijakan. Bukti konkrit adalah banyak menjadi pesakitan di KPK, mulai pimpinan parpol, legislator, menteri, dan pejabat publik lainnya tersangkut kasus korupsi yang juga melibatkan aparat keamanan. Bahkan hakim konstitusi, ikut terbawa arus karena transaksi politik.

Politik transaksional, mengutip Boissevain, dalam Sulaiman Nizam (2002:82) adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor persahabatan adalah penting dan jadi keutamaan. Pada kondisi tertentu pendekatan transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem. Jadi politik transaksional merupakan suatu sistem politik yang egoistis karena mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan tanpa menghiraukan beban penderitaan rakyat. Politik transaksional hanya akan melahirkan politikus-politikus kapitalis dan apatis terhadap beban penderitaan rakyat.

Politik Transaksional yang berupa uang atau barang dari aktor politisi maupun dari tim sukses yang terjadi sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem demokrasi yang sedang dibangun bersusah payah, selanjutnya aktor politik akan terus mendidik rakyat dengan tingkah laku politik yang merusak. Parahnya fenomena ini sering luput dari media dan perhatian publik, mengenai akses dan penggunaan uang dalam politik.

Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Nama Pancasila berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu: “Panca,” yang berarti lima, “Sila,” yang berarti prinsip atau pilar.

Hal ini berarti bahwa sila-sila Pancasila itu sendiri, harus menjadi sumber inspirasi serta landasan Idiologis dan yuridis, dalam sistem pemerintahan Indonesia. Karena Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila ke-empat Pancasila yang berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan” dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila keempat tersebut mengandung makna, bahwa setiap keputusan politik dan kebijakan publik, harus berlandaskan asas hikmat kebijaksanaan bukan kepentingan politik. Dengan demikian, asas “hikmat kebijaksanaan” menjadi sumber inspirasi dan tujuan dari setiap keputusan politik dan kebijakan publik, guna menjamin terpenuhinya kemaslahatan bersama (kepentingan seluruh rakyat) dan bukan kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan.

Hikmat berarti kebijaksanaan, kearifan, dan pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur’an. Hikmat atau Hikmah juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan hal yang baik dan menghindari yang buruk. Sedangkan kebijaksanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah kepandaian dalam menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuan) atau kecakapan dalam bertindak ketika menghadapi kesulitan.

Asas hikmat kebijaksanaan, seharusnya menjadi acuan pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik dalam sistem pemerintahan Indonesia. Karena hanya orang-orang yang sadar akan Rahmat Allah, yang mampu bertindak bijak, adil, dan jujur (bijaksana). Begitu juga mereka mampu memanusiakan manusia dalam pengambilan keputusan politik, dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Inilah salah satu prinsip yang melandasi lahirnya sistem demokrasi Pancasila, yang telah dirumuskan oleh para pendahulu kita yang dikenal sebagai bapak bangsa (the founding fathers).

Dalam sistem demokrasi Pancasila kedaulatan tertinggi, ada pada rakyat. Dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 sebelum amandemen diatur pada pasal 1 ayat 2, yang menyatakan bahwa; “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.

Konsekuensi dari bunyi pasal tersebut ialah adanya wewenang MPR untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan dengan wewenang tersebut MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden. Namun setelah amandemen, pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa; “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penafsiran dari ayat tersebut ialah bahwasanya kekuatan tertinggi berada pada kehendak rakyat dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut didasarkan pada UUD 1945.

Dengan demikian setelah amandemen tersebut, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan dijalankan oleh Lembaga tinggi negara khususnya; eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga lembaga negara tersebut memiliki peran berbeda dalam sistem pemerintahan Indonesia:

*Legislatif*

Lembaga yang bertugas membuat dan menetapkan undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Seperti; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

*Eksekutif*

Lembaga yang bertugas melaksanakan undang-undang. Seperti; Presiden, Wakil Presiden, dan menteri-menteri.

*Yudikatif*

Lembaga yang bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Seperti; Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Khusus.

Pemisahan kekuasaan di Indonesia sesuai dengan teori Montesquieu, yaitu terbagi atas tiga lembaga tersebut.  Ungkap Achmad Ramli Karim (Pemerhati Politik & Pendidikan)

Redaksi Piter Siagian A.Md

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *